DONGENG PARAS JAMRUD
john wage saleh
Pandangan kita menciumi aroma wangi hujan
Di tubuh bumi:
Peluh dingin berjatuhan
Segar bau debu
Dan sinar matahari
Binar- binar
Tertahan di lazuardi
Seperti detak dongeng yang kita gali dari kantong nenek moyang di masa silam. Keikhlasan wajah jamrud menampung musim hujan yang hinggap di dahan pepohonan mebasuh paras negeri ini
Mengerlingkan kasih dari bening butir-butir hujan itu
desir angin
memanjati tebing-tebing
pegunungan membelai
wajah bumi
tembus kedalam nurani kita
Terserah. Genggam tajam kapak
atau butir-butir benih pohonkah
yang akan kita pilih?
Berkaca di samudera: pandanglah
Di negeri tropis ini
Musim semakin sulit dieja
Seperti membaca maut
Tanah-tanah tandus. Tak pernah tidur.
Tak mengerti dan memaki ulah kita
Berpusingan mencari suku kata
Dalam telegram yang akan dikirim untuk kita.
Sekarat raut pandang
Tersambar deras arus air bah. membuncah-buncah.
Bagaimana kelak kita merangkai dongeng
untuk anak cucu kita?
Jasad lesu terbakar dicakrawala
meleleh oleh polutan
mengalir dari udara pekat
lantas saksikan anak cucu kita
mengais masadepan mereka yang tercekik
dibawah terik
mata kita terbelalak mengintip mereka dari langit yang sobek
Jogja, 2009
PENUH SESAK BERHIMPITAN RAMBU-RAMBU
john wage saleh
Dari atas langit
terdengar jerit memekik
dari lapisan ozon yang sekarat menganga
seluruh penjuru dunia kalang kabut
diterror udara yang
panas
menyengat
sementara para cukong
kian rajin membalak
berkacak pinggang dan tertawa
melihat jutaan gelondong kayu diangkut keluar negeri
bukit-bukit gersang dipenuhi bangunan plester
pohon-pohon merana
ranting-ranting merana
daun-daun merana
merindukan hujan dari sebalik do’a para pembenci hujan
lereng-lereng semakin licin
menggelincirkan murka air
air meradang
menenggelamkan, menggilas mimpi-mimpi panjang
kelestarian tata kosmos keseimbangan semesta
dan di kota hiruk pikuk kendaraan bermotor dan bangunan industri
berlomba memompa asap pekat
bising meledak
meredam nyanyian burung-burung pagi
meredam jerit lapisan ozon
meredam bunyi sangkakala yang ditiup mikail
meredam kepedulian
lantas
menghempaskanya
ke udara
kita dihadapkan pada satu labirin panjang
tanpa ujung
tanpa pilihan
tetapi penuh sesak berhimpitan rambu-rambu.
Jogja,2009
saya bacakan di taman nasional bebeng...2009
BalasHapus