Minggu, 21 Maret 2010

Perversitet

Siapa dapat memungkiri bahwa kita beratus-ratus kali berbuat busuk dan bodoh selain keisyafan bahwa hal itu boleh kita perbuat? Bukankah kita ada kecondongan untuk memperkosa hukum-hukum yang tidak tertulis justru lantaran kita tahu bahwa itu hukum?
Edgar Allan Poe, satrawan belanda menggambarkan keragaman gejala psikologis yang belum disebut oleh Filsafat dalam cepennya: The Black Cat.

Perversitet, kecenderungan rasa asli yang tidak dapat disimpulkan yang membentuk watak manusia. Edgar AP mempunyai seeokor kucing berbulu hitam, tidak ada satu helai pun yang berwarna putih bernama Pluto. Persahabatan antara kucing dan manusia yang terjalin sangat dekat, kemanapun Edgar pergi kusing itu selalu mengkuti kecuali kalau dia meminta kucingnya untuk meninggalkanya.

Pada suatu ketika tabiat edgar mengalami perubahan kearah yang buruk karena kegemaranya terhadap minuman keras. Ketika di pulang dari warung, ia mendapati Pluto seperti menyingkirinya. Dia tersinggung oleh sikap Pluto, Kemudian dia menangkap Pluto yang tidak suka dengan alkohol, Pluto menggigit tangan Edgar. Edgar pun gusar atas luka kecil ditangannya itu dan balas mencongkel salah satu mata Pluto dengan pisau kecil dari katong sakunya.

Edgar terbangun oleh penyelasan dalam kesadaran ketika disaksikan keadaan Pluto akibat perbuatan diluar kesadaranya. Berangsur semua berjalan seperti biasa. Tapi begitulah naluri hewan Pluto, trauma atas tidakan Edgar. Setiap kali ia melihat Edgar ia bergegas lari ketakutan menjauhi Edgar. Kebencian kucing itu membuat Edgar sedih tetapi perasaan itu lekas tersisih oleh kesebalan dan sebagai puncak malapetaka datang sifat perversitet.



Sebagai bentuk dorongan sifat perversitet, Edgar mengikat kuduk Pluto lantas menggantungnya pada sebuah ranting pohon dengan air mata bercucuran dan hati penuh penyesalan pahit. Ia menggantung Pluto karena Pluto pernah menyayanginya, oleh sebab Pluto tak pernah merugikanya dan oleh sebab dia tahu dengan begitu ia telah berbuat kejahatan-kejahatan teramat besar, hingga sukmanya yang abadi itu dipertaruhkan, bahwa jika hal itu tidak mustahil Tuhan yang maha rahman dan maha melihat pun tidak mungkin mengampuninya.

Kita pun tidak tergolong pada mahkluk yang bebas dari dorongan sifat perversitet: hasrat jiwa yang tidak terajuk untuk menyiksa diri, untuk memperkosa fitrah sendiri, untuk berbuat dosa karena mnginginkan dosa dan terus menjalaninya sampai tuntas, melakukan kejahatan pada sesuatu yang pernah mencintai kita dan tidak pernah merugikan kita, terus, belum berhenti sebelum klimaks yang benar-benar jera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar